Home > Sastra > BELENGGU CINTA

Cerpen: Nurhasanah

Guru SMAN 1 Sakra Timur

Embun pagi masih menempel di permukaan rumput. Aku mencoba sedikit melompat-lompat menghindari rumput yang masih basah, takut mengotori sepatuku yang berwarna putih. Aku sengaja berjalan cepat agar tak terlambat sampai sekolah. Jarak rumahku dengan sekolah kurang lebih 2 km. Sangat jauh bagiku yang berjalan kaki.

“Hai Cha, tunggu,” teriak suara di belakang.

Aku menoleh dan memelankan langkah. “Rahmat, cepetan aku telat nih,” jawabku. Dengan sedikit berlari Rahmat sudah di sampingku dan kami berjalan sambil bergurau sepanjang jalan. Rahmat adalah teman seletingku di SMP tapi kami beda sekolah setelah memasuki Sekolah Menengah Atas.

Akhirnya kami sampai di Pasar Jogo dimana kami harus berpisah. Rahmat menunggu angkutan untuk mengantarnya ke sekolah sedangkan aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk sampai di sekolah. “Alhamdulillah gerbang sekolah belum terkunci,” suaraku lirih sesampai di depan gerbang sekolah. Aku memasuki ruang kelas dan menaruh tas di meja. Bel berbunyi tanda berkumpul di lapangan untuk mengikuti kegiatan kerohanian membaca Al-Qur’an setiap pagi.

Jam pelajaran pertama dimulai. Pak Riyan guru matematika memasuki ruangan. “Assalamualaikuumwarahmatullahi wabarakatuuh, Selamat pagi anak-anak,” sapanya.

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi,”  jawab kami serempak.

Disertai senyum khasnya, pak Riyan menanyakan kabar kami. “Apa kabar anak-anak ?” 

Kompak kami jawab, “Alhamdulillah Luar Biasa Allahu Akbar.”

Kehadiran kami diabsen dan Pak Riyan membuka pelajaran. “Kumpulkan Tugas Rumah yang Pak Guru kasih pada pertemuan kemarin anak-anak,” serunya.

“Ya Pak guru,“ jawab teman-teman serempak. Mereka maju mengumpulkan tugasnya. Sedangkan aku sendiri kebingungan karena lupa mengerjakan tugas.

“Marsha, mana tugasmu ? Kenapa kamu bengong saja tidak mengumpulkan tugas ?” tanya Pak Riyan.

Aku gelagapan. “Saya lupa kerjakan, Pak,” jawabku polos.

Bernada suara lebih tinggi Pak Riyan menegurku, “Kamu ini juara kelas kok bisa tidak kerjakan tugas ! Sekarang juga kerjakan di depan sini,” ketusnya.

Penuh rasa malu dan gugup aku maju dan duduk di lantai dekat pintu masuk. Sementara pak Riyan melanjutkan pembelajarannya, aku membungkuk mengerjakan tugas. Karena rasa malu, otakku tidak bisa berpikir sehingga hanya 2 dari 5 soal yang bisa ku kerjakan.

Waktu berputar. “Anak-anak, pak guru ke belakang sebentar. Catat contoh yang pak guru terangkan tadi,” seru Pak Riyan.

“Ya Pak guruuu,” jawab anak-anak kompak.

Ketika di dekatku. “Cepetan dikerjakan biar kamu bisa duduk di bangkumu,” kata pak Riyan sambil melintasiku.

“Ya pak,” jawabku.

Sementara pak Riyan keluar, teman-teman kelas menggoda dan mencemoohku dengan kata- kata tidak jelas.

Buuggg…! tiba-tiba gumpalan kertas mengenai mukaku.

“Siapa yang melempariku tadi ?” teriak ku marah.

“Aku,” jawab Eko di antara ributnya suara teman-teman, “Sudah jangan marah aja ! Cepat buka kertas itu sebelum Pak Riyan datang.”

Sedikit kesal kubuka kertas itu dan benar saja ada jawaban tugas itu di dalamnya. Sigap aku menyalinnya sebelum pak Riyan datang.

…….

Setelah kejadian itu, tiba-tiba saja Eko sering hadir di benakku. Saat tidur, makan, mandipun ingat dia. Tanpa sadar nama Eko menjadi pusat pikiranku saat-saat ini. Aku terkadang tersenyum sendirian menghayalkan bagaimana Eko melemparkan kertas itu. “Kak Marshaaaa, cepetan mandi. Intan telat, nih !” teriak Intan dari luar kamar mandi menyadarkan aku dari lamunan.

“Iy iya sabarrr,” jawabku lebih keras lagi.

Begitulah aku akhir-akhir ini sering melamunkan Eko.

Naa naaa… hmhmmmm…. Pagi itu sambil bersenandung aku berangkat sekolah. “Aah pasti anak-anak yang mengolokku kemarin akan dihukum  Pak Riyan,” gumamku.  Tugas yang diberikan Pak Riyan tentang trigonometri lumayan sulit jadi aku berpikir banyak temanku yang akan dihukum. Setelah membaca beberapa literatur dan bertanya kepada kakakku  yang kebetulan kuliah jurusan matematika akhirnya aku bisa selesaikan tugasku.

Diiringi rasa riang, aku memasuki ruang kelasku dan …Deeggg… ! jantungku rasanya mau copot. Aku melihat dua orang temanku sudah lebih dahulu datang. Aku berpikir menjadi orang pertama datang sekolah karena berangkat lebih awal dari hari- hari sebelumnya.

Kuperhatikan kedua temanku tadi itu. “Hai Cha, tumben datang pagi sekali?” tegur Wina.

Dalam suasana hati tak karuan aku jawab singkat, “Ooh gitu ya..”. Aku cepat-cepat keluar menuju pojok sekolah tempat biasa aku duduk jika sedang sedih.  Aku mencoba menata hati yang tiba –tiba jadi super galau. Bagaimana tidak Eko, lelaki yang selama ini ada di hati dan pikiranku, tiba-tiba saja bersama wanita lain. Tanpa sadar air mataku jatuh. Aku sedih, ternyata aku cemburu sama Wina sahabat dekatku.

Bel berbunyi tanda berkumpul untuk melaksanakan rutinitas pagi seperti biasa. Aku tak terlalu mengikuti karena kejadian tadi. Aku masih syok dan hatiku belum pulih seutuhnya.

“Chacha koq kayak ga semangat gitu, ada apa, ya” bisik Dewi teman sebangku di lapangan.

“Aah nggak ada apa-apa, biasa aja,” jawabku singkat.

Ketika jam pelajaran. Pak Riyan memasuki ruang kelas. Seperti biasa dia ucap salam, menyapa, menanyakan kabar dan mengabsen kami. Kemudian, “Sekarang, kumpulkan tugas,” serunya.

Aku maju mengumpulkan tugas dan benar saja aku sendirian menyelesaikan tugas. Pak Riyan marah karena banyak tidak kerjakan tugas. “Kenapa kalian tidak kerjakan tugasnya” serunya lagi. 

“Sulittt, pak,” jawab salah satu dari temanku.

Pak Riyan mendelik. “Sekarang juga kalian semua maju di depan dan selesaikan tugas itu,” perintahnya.

Tanpa tunggu waktu. Semua teman-teman maju dan duduk di bawah seperti aku pada minggu kemarin.

“Kamu Chacha lanjutkan ke bagian C, materi pengayaan itu,” suruh Pak Riyan ke dekatku.

Aku melihat semua teman yang mencemoohku kemarin dengan tatapan kosong. Koq aku ga bahagia ya melihat mereka dihukum, lirihku. Seharusnya aku gembira, apa karena sedihku mengalahkan rasa bahagia itu ?  pikiranku terus tergerus ke peristiwa tadi pagi. Aku melihat Eko dan Wina bergantian. Hatiku tambah sakit.

Hari-hari berlalu. Cerita tentang Eko dan Wina di sekolah kian merebak. Bahkan aku semakin sering melihat mereka bersama.

“Chacha, tau gak Eko dan Wina pacaran, loo,” beritahu Dewi dengan antusias.

“Ooiya ya udah tau dari cerita orang-orang. Memangnya apa hubungannya sama aku ?” tanyaku ketus.

“Nggak ada sih. Hey Cha, beberapa hari ini aku perhatikan kamu koq terliat lesu, banyak diamnya, ada masalah ya ?” tanya Dewi penasaran.

“Itukan prasangkamu saja,” jawabku. Aku tidak mau dia tahu tentang perasaanku selama ini tentang Eko. Aku tidak mau malu karena ternyata aku punya perasaan beda kepada Eko. Dia semakin penasaran karena menurutnya aku mengalami banyak perubahan. Katanya bawel, tawa, serta ceritaku banyak berkurang dibanding hari-hari sebelumnya. Dengan cuek aku membiarkan Dewi terus dengan kebingungannya.

Akhirnya aku bisa melewati minggu demi minggu dengan penuh perjuangan. Aku menyibukkan diri dengan mengikuti beberapa ekschool, salah satunya Kepramukaan. Hobi berpetualangku sedikit tersalurkan dengan lintas alam. Itulah salah satu alasan aku memilih pramuka.

Hari terus berlalu, aku terus menyibukkan diri. Saat itu aku lagi duduk sendiri.

“Chacha, cuek sekali !” kata Riko teman satu kelas yang tiba- tiba duduk dekatku.

“Nggak juga, hanya baca-baca aja isi waktu,” jawabku sambil melepas buku yang kubaca.

“Kita ke kantin yuk, minum es,” ajak Riko.

Ragu-ragu aku bangkit mengikuti langkah Riko ke kantin.

“Es Campur dua, Bi,” pesan Riko.

Pesanan kami datang dan dengan cuek langsung saja aku minum esnya. “segerrr,” ucapku.

Riko terus memperhatikan dengan tatapan yang tidak ku fahami.

Bel tanda masuk jam berikutnya berbunyi. Aku dan Riko masuk kelas.

Setelah hari itu, Riko sering mendekatiku entah menanyakan soal atau mengajakku ke kantin. Hingga pada suatu hari aku diantar pulang. Di tengah laju sepeda motor yang dikendarainya, “Chacha, maukah kamu jadi teman specialku ?”  tiba-tiba Riko bertanya.

“Haah apa maksudmu, Ko ?” jawabku kaget.

“Setelah aku perhatikan ternyata kamu adalah tipe cewek yang aku suka. Jadi jangan jawab sekarang, kita nikmati saja hubungan kita dulu seperti ini,” kata Riko melanjutkan.

Sementara perasaanku masih bingung dengan jawaban. Sesaat aku diam saja. Kemudian, “Heee iya,” hanya kata itu yang mampu aku ucapkan.

Setiap hari Riko selalu menemaniku. Hari berlalu hingga akhirnya Riko bertanya lagi. “Cha, bagaimana hubungan kita ini apakah kamu sedikitpun tidak punya perasaan terhadapku ?” tanyanya dengan mimik serius.

Aku sedikit kaget. Namun cepat memantapkan tekad. ”Baiklah saya akan mencoba menjadi teman specialmu. Semoga kamu menjadi yang terbaik,” jawabku malu.

“Yesss, terima kasih Cha ! Aku akan berusaha menjadi yang terbaik bagimu,” katanya semangat.

Kehadiran Riko yang mengisi hari-hariku akhirnya membuat aku sedikit melupakan sosok Eko. Aku terus berusaha memikirkan Riko. Aku mencoba menjadi teman specialnya. Kadang Riko datang ke rumah untuk menyelesaikan tugas bersama.

Hari itu. Pak Hendra guru Biologi kami masuk ruangan. Seperti guru yang lain beliau ucap salam, menyapa dan mengabsen. “Anak-anak, hari minggu ini kita akan pergi study tour ke pantai Ekas. Kita  akan mengklasifikasi jenis-jenis hewan laut yang kalian temukan di sana,” katanya.

“Yee, jam berapa kita berangkat ? Oo yaa, hampir lupa …, berapa ongkos mobilnya, Pak ?” tanya Wina.

“Jam 7 sudah kumpul di sekolah. Biaya makan dan ongkos kalian 50 Ribu. Setor sama bendahara kelas si Dewi mulai besok pagi,” jawab pak Hendra.

Sesuai rencana. Pak Hendra mengurus semua akomodasi kami. Hingga tibalah hari minggu. Pagi-pagi kami berangkat. Dengan penuh semangat kami pergi menggunakan 3 buah mobil engkel. Karena yang mengikuti study tour ini bukan hanya kelas kami tapi diikuti seluruh kelas XI IPA.

Sekitar pukul 10.00 kami sampai di pantai Ekas. Kami turun dan rilek sebentar. “Kelas XIA1 kumpul,” suara pak Hendra melalui megaphone.

Kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok 1, 2 sudah ditentukan. “Eko, Dava, Marsha, Dita kelompok 3 dan ini jangan lupa isi Lembar Kerjanya” kata pak Hendra sambil menyodorkan lembaran.

Pak Hendra terus membagi kelompok kelas hingga kelas XIA 2. Aku dan Riko beda kelompok. Dan kami di anjurkan masing-masing kelompok untuk berjauhan demi menghasilkan hasil yang bagus. Kami sampai sore untuk menunggu air laut surut. Kami belum turun untuk mulai bekerja. Kami semua bermain-main sambil memandang laut. Setelah itu, sholat zhuhur dan makan.

Jam 4 sore air laut sudah mulai surut. Kami berkumpul bersama kelompok masing-masing. Aku dipenuhi rasa canggung berada satu kelompok dengan Eko. Aku berusaha menetralkan pikiran. Berusaha fokus mengerjakan LK.

“Ayo teman-teman cari jenis hewan apa yang kalian temukan,” kata Eko mengagetkan lamunanku.

“Ya, ya ayo,” jawab Dava.

Kami berjalan menyusuri pantai. Baru saja 3 meter aku melangkah tiba-tiba saja “Astagafirullah hal aziim, ada binatang melilit kakiku,” teriakku spontan.

Sigap Eko menghampiri dan menarik binatang laut yang ada di kakiku. “Hati-hati, jangan panik,” katanya menenangkan sambil menarik dan membuang binatang itu.

Aku bernafas lega. “Terimakasih …..,” ucapku lirih.

Setelah kejadian itu, Eko selalu berada di dekatku. Dengan teliti terus berusaha menemukan binatang yang bisa kami nanti masukkan ke kelompoknya. Sementara itu di kelompok lain ada dua pasang mata mengawasi kami. Mereka adalah Wina dan Riko. Kadang – kadang Riko menghampiri kelompokku, tapi dia langsung diteriakin kelompok lain karena dikira nyontek hasil kelompokku. Akhirnya Riko tidak pernah mencoba mendekati kelompok kami.

“Jam sudah menunjukkan pukul 05.30, waktu isi LKnya sudah habis. Kita kumpul dekat mobil,” suara pak Hendra melalui megaphone. Kami berkumpul dan diabsen satu persatu. Setelah semuanya lengkap, kami berangkat pulang.

Keesokan harinya pada sore hari Eko, Dita dan Dava datang ke rumah. Kami membahas laporan hasil study tour yang kemarin.

“Kita selesaikan laporannya sekarang, ya.  Dan saat presentasi nanti Chacha, kamu yang jadi penyajinya, Dita notulen dan aku moderatornya. Dan kamu Dava membantu Chacha menjawab pertanyaan dari teman,” kata Eko membagi tugas.

Kami setuju. Dan serius kami menyelesaikan laporan.

“Chacha, kamu cantik sekali sore ini,” canda Dava.

“Sembarangan aja, dari dulu Chacha itu cantik,” balas Dita dengan tertawa. Kami pun semua tertawa. Kecuali Eko, dia hanya tersenyum tipis sambil menatapku. Dan aku menjadi sangat tidak nyaman dengan tatapannya itu. “Aduuh kok hatiku jadi gini,” lirih ku dalam hati.

Hari itu, presentasi kelompok kami sukses. Pak Hendra memberikan uplous untuk kelompok kami. “Semoga kelompok lain bisa lebih baik dari kelompok Eko,” harapnya.

Semakin hari kebersamaanku dengan Riko semakin lengket. Bagaimana tidak, dia tidak pernah membiarkanku mengikuti kegiatan tanpa kehadirannya. Setiap aku keluar bersama Dewi dan teman-teman cewekku dia selalu menemani. Aku tidak punya dunia sendiri. Semuanya harus bersama dia.

Hingga pada suatu hari. “Riko, aku mau ke Ultahnya Dewi, tapi hanya kami berlima yang akan rayain. Ga boleh bawa temen cowok,” kataku pada Riko.

”Kok gitu, memangnya kenapa kalau bawa cowok, biar kamu bisa omongin cowok lain, ya ?” ketusnya.

“Kamu ga percaya gitu sama aku, bukang itu !” jawabku membela diri.

“Sudahlah Cha, aku gak mau kamu itu sama cowok lain, aku sayang banget sama kamu,” Riko merayu.

Penuh rasa jengkel aku berlalu dari hadapannya.

Begitulah hari-hariku selalu bersama Riko. Aku mulai jenuh dengan sikapnya yang protektif. Aku ingin menjalani hubungan dengan santai. Jangan ada ikatan yang membelenggu. Teman-teman menilai hubungan kami sangat serasi, harmonis dan cocok. Padahal aku yang menjalani merasa tidak nyaman. Itulah orang suka menilai dari sudut pandang mereka saja tanpa tahu kebenaraannya.

Aku berjalan gontai menyusuri jalan menuju taman sekolah.

”Hai cantik, tumben sendirian ? Mana Riko ?” tanya Eko tiba-tiba berjalan di sampingku.

“Aah gak gitu, kami tidak harus bersama. Saya juga punya kesibukan sendiri,” jawabku dengan lancar. Seolah-olah aku curhat bahwa aku ini butuh waktu untuk sendiri.

“Tapi kalau kuliat-liat kamu gak pernah sendirian, selalu bersama Riko,” tuding Eko penasaran.

“Kamu kenapa sih memperhatikanku ?! Urus saja Wina, sana !” ketusku puas seolah- olah aku melampiaskan rasa cemburu yang selama ini membelenggu di hatiku.

“….. ooh Dia itu ….” jawabnya, belum selesai ngomong tiba-tiba saja Wina hadir di antara kami.

“Hey serius sekali, omongin apa ?”  tanya Wina polos.

“Ini aku tanya materi Matematika yang kemarin dikasih Pak Riyan,” kata Eko memutar topik.

”Ya Cha ajarin kita ya, saya juga gak faham nih,” rengek Wina.

“Iya ya entar saya coba jelasin semoga kalian bisa ngerti dengan penjelasanku,” jawabku mengikuti alur yang di bahas Eko.

Di hari-hari berikutnya, aku tetap menjalin hubungan yang tidak memberi rasa nyaman. Aku selalu salah di depan Riko. Sedangkan Eko sering juga mendekatiku ketika ada kesempatan. Kehadiran Eko semakin nyata di hatiku. Kejadian demi kejadian tentang Eko melintas di pikiranku. Dari menolongku saat tugas matematika, membuang ular laut yang melilit di kakiku, saat – saat dia mencuri waktu untuk mendekatiku. Semuanya begitu indah di pikiranku. “Ooh apa yang terjadi denganku, apakah aku mencintai Eko ?” lirihku. Sering aku memutar balikkan badanku di atas tempat tidur. Aku terus mengingat Eko yang memberi rasa nyaman di hatiku.

“Kak Chacha, ajarin Intan menyelesaikan PR matematika ne, besok harus dikumpulin,” teriak Intan dari luar kamarku.

“Iya-ya, sekarang tunggu bentar,” jawabku sambil bangun. “Huuuhhh, ganggu lamunan orang saja,” gerutuku sambil keluar kamar.

Hubunganku dengan Riko terus memburuk. Aku sering protes dengan kemauannya.

“Cha, kamu itu pacarku tapi kok sekarang nggak pernah mau jalan berdua saja. Apa kamu malu punya pacar aku,” kata Riko pada saat jam istirahat.

“Bukan gitu Ko, kita ini tidak boleh berdua saja. Kalau kita berdua saja setan akan banyak menggoda,” alasanku menolak ajakan Riko. Kata- kata itu selalu menjadi alasanku setiap kali Riko mengajak keluar jalan-jalan.

Hari itu Riko tidak masuk sekolah. Dan saat aku berjalan pulang sendirian tiba-tiba saja Eko datang mendekatiku. “Aku antar pulang, ya,“ pintanya.

“Jangan, saya tidak enak sama Wina,” jawabku sambil berjalan.

“Ooh tadi dia di jemput sama kakaknya,” jawab Eko lagi.

Belum selesai ngomong Eko menarik tanganku ke parkiran. Tanpa bisa berkata-kata lagi aku akhirnya nurut dan naik motornya. Sepanjang jalan teman-teman teriakin kami. Tapi dengan cuek Eko melaju di antara teriakan mereka. Sepanjang jalan Eko cerita kegiatannya di rumah.

Keesokan harinya saat jam istirahat ketika aku berada di pojok sekolah sendirian, Wina mendekatiku. “Chaca, kamu itu teman yang suka makan teman. Apa maksud kamu boncengan sama pacarku ?” katanya sambil berkacak pinggang. “Aku tidak suka kamu terus mendekati Eko. Kamu itu tidak bisa cari laki-laki lain, ya ? Kamukan punya Riko. Apa kamu tipe cewek tidak setia ?” katanya dengan marah.

“Bukan gitu Wina, aku juga nggak pernah dekati Eko. Dia yang nawarin diri ngantar pulang,” balasku dengan marah juga. “Sudahlah Wina, aku nggak mau ributin laki-laki. Aku mau masuk sekolah,” putusku sambil meninggalkan Wina.

“Chachaaa, aku belum selesai ngomong,” teriak Wina. Tapi aku nggak pedulikan. Aku terus melangkah.

Bel pulang berbunyi. Dengan gontai aku melangkah keluar kelas.

“Cha, aku antar pulang ada yang mau diomongin,” kata Riko. Tanpa menyahut aku mengikutinya. Dan di atas motor Riko bertanya, ”Sebenarnya kamu itu pacarku atau apa ? Kalau kamu pacarku kenapa kamu sering sama Eko ?”

Penuh rasa malas aku menjawab, “Kenapa Eko saja yang dibahas? Percaya dong sama aku !”

“Aku tidak senang kamu terus sama Eko ! Hargai aku dong,” nada Riko semakin tinggi. “Pokoknya kamu itu tidak boleh sama laki-laki lain, apalagi Eko,” katanya lagi.

“Riko, turunin aku disini…. “ suruhku.

“Memangnya kenapa ??” tanya Riko sambil memberhentikan motornya. “Cha, aku sayang banget sama kamu. Wajarkan aku cemburu..? tanyanya sarkastis.

Entah kenapa kata-kata itu sudah nggak mempan di hatiku. Sebelumnya kata – kata itu selalu meluluhkan hatiku. Akhirnya aku putuskan, “Riko, sebaiknya kita akhiri hubungan kita ini. Aku nggak bisa menjalin suatu hubungan tanpa ada kepercayaan. Aku lelah, Riko..??” kataku lirih.

“Bukan gitu Cha, aku tidak bisa begitu saja putus darimu,” kata Riko mencoba merayuku.

Kebetulan satu motor ojek melintas. Aku langsung menyetopnya. ”Maafkan aku, Riko…” ujarku. Tanpa menunggu jawaban, aku naik di belakang tukang ojek.

Sesampai di rumah aku langsung masuk kamar. Aku teringat kejadian hari ini, Wina yang melabrakku dan aku yang putus dengan Riko. “Huuhuu kenapa jadi gini, aku harus bagaimana ?” isakku sambil menutup muka pakai bantal. “Belum selesai aku menata hati karena Wina, Riko nambahin lagi, aku juga sudah ga tahan sama Riko,” lirihku. “Eko kenapa aku harus mencintaimu ? Sedangkan aku tahu kamu sudah jadi pacar temanku. Namun jujur saja, sebenarnya aku ingin tahu perasaanmu padaku, apakah aku hanya mencintaimu sedangkan kamu enggak ?” Aku terus menangis bila ingat kata-kata itu.

“Cha, kenapa kamu belum makan, kamu sakit ?” Tiba- tiba ibuku sudah di dekatku. “Kamu kenapa, kok nangis ? tanya ibu dengan wajah khawatir.

“Enggak Bu, nilai ulangan tadi jelek makanya sedih dan malu,” jawabku seadanya.

“Ooh itu, jangan sedih, nilai bisa di perbaiki. Sehat yang utama. Sana makan dulu,” kata ibuku dengan lembut.

Malas-malasan aku bangun, ganti baju  dan ke dapur untuk makan.

Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan langkah seperti biasa, langkah hampir setengah berlari karena takut terlambat. Sesampai di sekolah aku memasuki ruang kelas, aku dapati hampir semua temanku sudah hadir semua.

Setelah bel untuk mengikuti kerohanian berbunyi aku ikuti dengan santai. Tiba-tiba Dewi berbisik, ”Cha, benarkah kamu sudah putus dari Riko ?”

Ketus aku jawab, ”Berisik !”

Dewi semakin penasaran, “Apa sih kurangnya Riko ?“ lanjutnya.

“Kamu aja yang ambil !“ jawabku sengit.

Dewi semakin penasaran. Kegiatan kerohanian selesai, sambil memasuki kelas, dia kembali bertanya, “Kamu juga dilabrak Wina, ya ? Kenapa kamu diam saja enggak mau cerita sama aku. Memangnya kamu enggak percaya sama aku, bukannya aku sahabatmu ?” celotehnya tanpa henti.

Beberapa menit kemudian ada lembaran yang diantar oleh petugas piket. Katanya tugas dari Pak Hamzah guru Bahasa Indonesia, beliau tidak masuk. Semua teman-teman sangat gembira. Dengan serius kukerjakan tugas Bahasa Indonesia yaitu membuat puisi.

“Cha, ntar samaan ya pulang sekolah ?” kata Riko di  depanku.

”Terima kasih, saya pulang sendiri, nggak usah repot – repot,” jawabku,“ jawabku dingin.

“Tapi aku mau ngomong,“ katanya lagi.

“Tidak ada yang perlu kita omongin. Semuanya sudah jelas,“ jawabku santai.

Aku keluar kelas meninggalkan Riko sama Dewi yang menatapku tanpa berkata-kata.

Aku pergi ke pojok sekolah tempat aku biasa kalau lagi sedih. Aku mencurahkan isi hatiku sendirian. Aku ini kenapa, apakah aku sedih karena putus dari Riko atau aku sedih karena cintaku sama Eko ? Tapi kalau aku tanya hatiku, ternyata aku sedih karena perasaanku sama Eko. Aku akan terus bertanya sampai kapan, aku tidak punya keberanian. Hanya waktu yang bisa jawab.

Leave a Reply