Roman : Abdul Azizurrahman
Kombes Munawar Ahmad melangkah gontai memasuki lorong panjang Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Pikirannya masih kalut. Peristiwa tabrakan kereta api di Bintaro masih menari-nari di benaknya. Terdapat rasa sesal telah meninggalkan tugas memberikan pertolongan pada korban yang kemungkinan besar hingga detik itu masih meringis-ringis kesakitan.
Saat itu, lorong panjang Rumah Sakit Hasan Sadikin sepi. “….Tapi apapun yang terjadi, aku pastikan dulu Amy dan bayiku selamat. Setelah itu, aku nanti cepat-cepat kembali ke Bintaro membantu penanganan korban kecelakaan kereta,” gumam Kombes Munawar Ahmad sendiri.
Semakin mendekati bangsal Nifas, langkah kaki Kombes Munawar Ahmad bergerak lebih cepat. Bahkan terlihat seperti berlari. Dirasakannya degup jantungnya bergerak-gerak lebih kencang.
Setibanya di Bagian Resepsionis. Ditemuinya seorang suster jaga mengenakan jilbab tengah sibuk di depan komputer. Tanpa menengok kiri-kanan, dia langsung bertanya, “Maaf, Sus, apa isteriku Amy Qanita masih di ruang bersalin ?” tanyanya cemas.
“Maaf, siapa, Bapak ?” tanya ulang Suster cantik berjilbab dengan nada ramah.
“Amy Qanita.”
Suster berjilbab langsung mengecek di komputer. Tidak berapa lama, dia tersenyum ramah menghadap Kombes Munawar Ahmad yang terlihat gelisah. “Sudah dipindahkankan di Ruang Mawar Nomor 10, Bapak,” beritahu suster jaga.
“Terima kasih, saya ke sana, Sus,” pamit Kombes Munawar Ahmad cepat. Bergerak ke arah kiri.
“Eeiit, maaf, salah jalur, Bapak !” teriak Suster berjilab, “Ke sebelah kanan.”
Kombes Munawar Ahmad berhenti. “O ya. Lupa. Terima kasih,” ujarnya. Tersenyum malu. Lalu melangkah cepat ke lorong yang ditunjuk oleh Suster berjilbab.
Jam 04.15 Wib.
Kombes Munawar Ahmad tiba di Ruang Mawar Nomor 10. Tanpa sadar tangan kanannya meraba dada. “Hah, tumben dadaku berdebar begini !” gumamnya sendiri, “Ya Allah, berikan keselamatan pada isteri dan anakku,” doanya.
Setelah merasa mantap, Kombes Munawar Ahmad mengucap salam sambil tangannya menekan pegangan pintu. “Assalamu’alaikum Warahmatullah hi Wabarakatuh,” salamnya panjang, “Apa di sini kamar Amy Qanita, isteri dari Kombes Munawar Ahmad,” sapanya riang.
Amy Qanita tengah khusyuk baca doa-doa, seuntai tasbeh bergerak-gerak di jemarinya. Terlihat wajahnya yang putih bersih dan cantik semakin bersinar diterangi lampu bohlam di atasnya. Begitu mendengar suara salam dan tahu siapa yang datang. Dia cepat menengok ke arah pintu. Tersenyum sumringah. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawabnya takzim, “Alhamdulillah, akhirnya Papa datang.”
Kombes Munawar Ahmad bergegas mencium dahi Amy Qanita isterinya. “Gimana, sehat, Yang ?” tanyanya dengan suara bergetar, “Wah, baru kali ini aku rasakan, jarak Jakarta – Bandung jauuuh sekali !”
“Ah, masak sih ?” tanya Amy Qanita bernada tidak percaya.
Kesangsian Amy Qanita tidak ditanggapi. “Mana, mana, mana ?” tanya cepat Kombes Munawar Ahmad. Matanya jelalatan, mencari kiri-kanan.
Amy Qanita tersenyum. “Tuh !” tunjuknya ke arah rak bayi di sampingnya, “Ssttt, lagi tidur !” Telunjuknya menutup mulutnya, memberi isyarat jangan ribut.
Kombes Munawar Ahmad tidak peduli. Terus bergegas mendatangi rak bayi di samping kanan isterinya. “Anakku, anakku ….,” desisnya gembira, “Alhamdulillah hissyukur, aku punya anak, laki-laki.”
“MasyaAllah, tangisnya keras sekali,” beritahu Amy Qanita, ibu dari sang bayi, “Perawatnya sampai kaget-kaget tadi. Rupanya bakat jadi penyanyi. Suaranya melengking mengalahkan Roma Irama.”
Mata Kombes Munawar Ahmad berbinar-binar menatap bayi merah di hadapannya. Delapan detik. Kemudian hati-hati dia mengangkat bayi merah yang bertubuh sehat. “Alhamdulillah hissyukur, anakku sehat dan tampan.”
“2,1 kilogram.”
“MasyaAllah. Kok kecil sekali ?” tanya Kombes Munawar Ahmad bernada tidak percaya. Melihat anak pertamanya. Sendu.
“Tapi, kata Dokter, sehat,” hibur Amy Qanita.
Serangkum angin bergerak lembut. “Aku beri nama Raffi Faridz Ahmad,” kata Kombes Munawar Ahmad mantap.
Mendengar pemberian nama itu, Amy Qanita, sang isteri, tersenyum lemah menyetujui.
Saat itu, televisi hitam-putih yang diletakkan di meja kecil di pojok tengah menyiarkan berita tabrakan kereta api di Bintaro. Terdengar suara Reporter televisi: “…. Telah terjadi tabrakan maut Kereta Api di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Antara Kereta Api Ekonomi Merak jurusan Tanah Abang – Merak dengan Kereta Api Rangkas jurusan Rangkas Bitung – Jakarta. Diperkirakan jumlah korban 156 meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka.”
Spontan Kombes Munawar Ahmad dan Amy Qanita melihat televisi.
Amy Qanita menunjuk. “Pak, itu di Jakarta …. Innalillahi wa innailahirajiuun,” ucapnya shock.
“Betul. Tadi juga aku dari sana,” beritahu Kombes Munawar Ahmad pelan.
“Terus, tidak apa-apa ?”
“Aku tidak sengaja ke sana. Mengantar seorang perempuan tua, suaminya ikut menjadi korban tabrakan. Kasihan.”
“Mengantar ?” tanya Amy Qanita sangsi, “Kok, bisa?”
“Tidak tahu, waktu mau ke sini ee tiba-tiba saja perempuan tua itu menghadang. Dia panik dan memaksa-maksa supaya diantar. Jadi terpaksa aku antar. Ternyata dia betul. Ya Allah, sungguh ngeri, Amy ! Mayat di mana-mana.”
“Papa ikut bantu ?”
Kombes Munawar Ahmad mengangguk lemah. “Hanya satu. Kakinya patah, terkena jepitan kursi kereta.”
“Iih, ndak usah cerita gitu-gitu !” larang Amy Qanita sambil menutup mukanya.
“Yah, musibah nasional,” kata Kombes Munawar Ahmad lemah sambil membuang muka dari televisi. Kemudian mencium dahi Raffi Faridz Ahmad dengan khusyuk. Melihat kalender di dinding, “17 Februari 1987, semoga anakku nanti menjadi penghapus duka dan hari ini menjadi awal bahagia bagi seluruh rakyat Indonesia,” doanya.
Dari arah Masjid Jami Baiturrahman dekat Rumah Sakit Hasan Sadikin berkumandang azan subuh: “Allahu Akbar, Allahu Akbar ….”