Roman : Abdul Azizurrahman
Di tempat parkir sepeda motor, Kombes Munawar Ahmad berhenti. Melirik jam tangannya, pukul 22.45. Melihat ke arah bulan purnama. Batuk sekali. Melihat ke halaman Polsek Kota. Sepi. Lalu dia mengancingi jaket tebalnya.
“Aku akan punya anak,” gumam Kombes Munawar Ahmad sendiri. Tersenyum bahagia. “Laki-laki. Pasti aku sematkan nama Ahmad, ku nisbahkan pada nama keluarga yang diberikan oleh Ayahku, Malik Aziz Ahmad Khan.”
Tanpa sadar, Kombes Munawar Ahmad pejamkan mata. Dia teringat satu dialog dengan Ayahnya, Malik Aziz Ahmad Khan, sewaktu dia mengabarkan dirinya diterima menjadi Korp Polisi Republik Indonesia. Ketika itu ayahnya Malik Aziz Ahmad Khan tengah sakit dan berbaring lemah di kamar tidurnya yang luas.
Begitu dia selesai memberi kabar, Ayahnya Malik Aziz Ahmad Khan tertawa keras. Bangun dari tempat tidur. Berdiri tegap seperti tidak sedang sakit. Matanya tajam dan mengangguk-anggukkan kepala. Lalu dia dipeluk erat-erat. “Alhamdulillah hissyukur. Aku bangga, bangga, bangga luar biasa,” katanya dengan nada riang gembira, “Anak berdarah Pakistan bisa menjadi Polisi Republik Indonesia. Hahaha …. alhamdulillah, alhamdulillah, ini menunjukkan bahwa aku sudah sepenuhnya Indonesia. Hehh, darahku berasal dari Pakistan, namun jiwa dan semangatku kini adalah Indonesia. Demi Allah ajawajalla, aku Indonesia !”
Dia tidak berkata apa-apa. Diam. Hanya air mata tumpah membasahi pipinya. Dia bisa merasakan kebahagiaan Ayahnya. Dan itulah tekad awalnya ketika ikut seleksi menjadi polisi. Dan berkat do’a dan restu Ayahnya, dia merasa mudah saja melewati tahapan seleksi yang ketat.
Ayahnya Malik Aziz Ahmad Khan melihat tajam dirinya. Kembali tubuhnya dipeluk. Kali ini lebih erat, sampai dirasakan dadanya sulit bernafas. Namun dia tetap menahan diri, membiarkan Ayahnya meluapkan kebahagiaannya.
“Polisi, Polisi, ya Allah ya Allah … sungguh kah kamu Polisi, Anakku ?”
“Betul, Aki.”
“Alhamdulillah, alhamdulillah.”
“Bahkan saya sudah dapat lencana.” Dia mengeluarkan lempengan perak dari saku jaketnya. Diberikannya pada sang Ayah. “Ini, Aki,” ujarnya.
Malik Aziz Ahmad Khan menimang-nimang lencana anaknya. “Jadilah polisi seperti Jenderal Hoegeng yang jujur,” harapnya mantap, “Aku yakin, kamu bisa seperti Beliau, hidup sederhana, jujur, dan patriot.”
“Baik, Aki, insyaAllah saya laksanakan.”
“Harus !”
“Siap.”
“Mulai sekarang, tunaikanlah tugasmu yang utama, tegakkan hukum walau langit Indonesia ini runtuh. Jangan tergoda hal macam-macam, karena itu semua tipuan sesaat,” pinta Ayahnya dengan nafas tersengal-sengal.
“Siap, Aki !”
Ayahnya Malik Aziz Ahmad Khan tersenyum lucu. Dia dipeluk lagi. “Kamu sudah terbiasa berkata siap, siap, dan siap. Sekali pun dengan Aki, kamu spontan berkata siap. Hehehe, tidak apa-apa. Aku bahagia.” Kemudian Ayahnya bergerak ke tempat tidur. Kembali berbaring seperti semula, namun kini dengan senyum yang terus mengembang.
Kombes Munawar Ahmad merapatkan tubuh, meneleng-nelengkan kepala, dan memejam-mejamkan matanya. Dia seperti baru tersadar dari lamunan yang panjang. Sekali lagi menengok ke bulan purnama di atas pohon akasia, lalu melirik jam tangannya. “23.11,” gumamnya.
“Aku harus cepat !” putusnya, “Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun. Anakku harus lahir sempurna. Ya Allah ya Robbi, bantulah kelahiran isteri hamba,” pintanya menghadap ke atas. Sesaat mulutnya komat-kamit berdo’a, lalu tangannya mengusap wajahnya. Kemudian bergegas dia mengambil motor GL 100 kesayangannya. Seekor kupu-kupu besar berwarna kecoklat-coklatan hinggap di bahunya dan bermain-main dengan manja tanpa takut diusir, namun dia sama sekali tidak mengetahuinya. Tetap fokus pada sepeda motornya.
Tanpa ada halangan, motor GL 100 yang dikendarai Kombes Munawar Ahmad sudah berbaur dengan arus kendaraan lainnya yang lalu lalang di Jalan Jenderal Ahmad Yani yang menuju ke arah Jalan Medan Merdeka Utara.
Tiba di satu pertigaan, hendak membelok ke sebelah kiri, mendadak seorang perempuan tua berpakaian lusuh dan rambut awut-awutan menghadang dengan dua tangan terentang. “Tolooong, toloong, musibah, musibah ….”
Kombes Munawar Ahmad yang tengah membayangkan diri punya anak pertama tersentak kaget, sepontan menginjak rem. Ban sepeda motor GL 100 menderit-derit. Tubuhnya condong ke depan, hendak terpelanting. Untung dia masih mampu mengendalikan diri, dan sepeda motor berhenti tepat tiga inci dari tubuh si perempuan tua.
“Astagafirullah hal aziim. Gila, kamu !” bentak Kombes Munawar Ahmad marah campur kaget. Langsung mematikan motor.
Si Perempuan tua tetap berdiri menghadang. Kedua tangan terentang. “Tolong, toloong, antar ke Bintaro !” pintanya, “Ya Allah, musibah, musibah, Bang Badar, Bang Badar ….”
“Siapa ?” bentak Kombes Munawar Ahmad.
“Suamiku.”
“Kenapa ?”
“Korban tabrakan kereta apa. Dia jualan di dekat rel kereta di Bintaro.”
“Ah, masak ?” bentak Kombes Munawar Ahmad tidak percaya, “Kamu jangan bohong, ya !”
Si Perempuan tua tidak menanggapi kebingungan Kombes Munawar Ahmad. Dia berlari menuju ke sepeda motor GL, langsung naik ke atasnya. “Cepat, cepaat, cepat !” teriaknya histeris.
Kombes Munawar Ahmad tersentak melihat kelakuan si Perempuan tua. “Lo, heii, kamu, kok ?”
“Cepat, Pak, cepaat !” pinta panik si Perempuan tua.
Sekalipun Kombes Munawar Ahmad masih ragu dengan situasi yang tengah dihadapinya. Untuk sesaat, dia tidak tahu mau berkata apa. Akhirnya, dia memutuskan ikut naik ke sepeda motor GL 100, membonceng si Perempuan tua di belakang.
“Terima kasih. Cepaat, cepat, ayo cepat berangkat, Pak !” suruh si Perempuan tua tidak sabaran. Ditarik-tariknya jaket Kombes Munawar Ahmad.
“I-ya. Tapi kamu tenang dulu !” suruh Kombes Munawar Ahmad, lalu menghidupkan sepeda motor GL 100nya.
Pukul 23.03 Wib.
Tiba di Bintaro.
Kombes Munawar Ahmad berdiri ternganga. Untuk sesaat dia tidak tahu berbuat apa. Di hadapannya, dua kereta ekonomi saling lindas. Orang-orang berteriak-teriak, bertumpuk-tumpuk orang di pinggir kereta mencari selamat, darah berceceran di mana-mana, suara-suara mengaduh, tangisan menyayat, pecahan kaca, besi, dan barang-barang lainnya berhamburan. Sementara si Perempuan tua sudah pergi entah kemana.
“Ya Allah ya Robbi, apa yang tengah terjadi ini ?” tanya bingung Kombes Munawar Ahmad. Namun cepat kesadarannya pulih. Dengan sigap dia bergerak masuk ke gerbong terdekat, berniat memberikan pertolongan yang bisa dia berikan. Diambilnya lampu senter kecil di saku jaketnya. Dia langsung mengawasi suasana di dalam gerbong yang porak-poranda.
Di kursi gerbong paling belakang satu penumpang laki-laki muda tengah berusaha melepaskan diri dari himpitan kursi kereta. “Aduuh, aduuh, Tuhan Yesus, Tuhan Yesus, toloong, toloong,” rintihnya.
Kombes Munawar Ahmad mendengar rintihan itu. Lampu senter cepat bergerak mencari sumber rintihan. Dan langsung dilihatnya. “Astagafirullah hal aziim, masih ada korban !” pekiknya kaget. Bergegas dia menuju gerbong paling belakang. Cepat disingkirkannya kursi yang menghimpit kaki laki-laki muda itu.
“Aduh !” jerit si penumpang laki-laki muda kesakitan, “Tuhan Yesus, Tuhan Yesus. Engkau Maha Kasih,” doanya.
“Maaf. Tahan sebentar !” kata Kombes Munawar Ahmad, “Saya harus tarik paksa kursi sialan ini dari atas kakimu. Yak, tahan !”
“Tidak apa-apa. Terus saja, Pak.”
Sekali sentak kursi itu melayang ke samping. Kaki si penumpang laki-laki muda terbebas. Segera Kombes Munawar Ahmad membopongnya keluar dari gerbong yang sudah miring dan sewaktu-waktu bisa terbalik.
“Awas, jauhi gerbong !” terdengar peringatan keras dari luar gerbong.
Tidak berapa lama, Kombes Munawar Ahmad berhasil keluar sambil membopong si penumpang laki-laki muda yang terus menerus merintih kesakitan. Dia langsung membawanya ke tempat aman, sekitar 20 meter dari gerbong.
Setibanya di tempat aman, langsung diletakkannya dengan hati-hati tubuh laki-laki muda yang sudah lemas di atas tanah. Sesaat Kombes Munawar Ahmad merasa bingung. Dilihatnya di sekeliling semua orang tengah panik. “Ya Allah, bagaimana ini ?” desisnya panik.
Nasib baik datang. Dilihatnya seorang laki-laki muda berpakaian putih-putih menuju ke arahnya. “Dik, Dik, ayo sini cepat !” panggilnya lega, “Korbannya pingsan, kakinya patah.”
Mendengar panggilan Kombes Munawar Ahmad, laki-laki muda berpakaian putih-putih mempercepat langkah kakinya. “Baik, Pak. Tinggalkan saja. Biar saya yang tangani,” jawabnya. Dan begitu tiba, dia langsung memberikan perawatan darurat.
Kombes Munawar Ahmad berdiri mengawasi. Dilihatnya si laki-laki muda berpakaian putih-putih sigap merawat korban. Dia mengangguk puas. Berarti bisa saya tinggalkan, lamunnya. “Baik, Dik, saya cari korban yang lainnya,” pamitnya.
Tanpa menunggu jawaban, Kombes Munawar Ahmad bergegas mencari tempat yang lebih sepi. Nafasnya tersengal-sengal. Setelah menemukan tempat yang dirasanya aman untuk bicara, dia mengambil handy talki dari saku jaketnya. “Halo, halo, Dek,” panggilnya.
Langsung menyambung. “Siap, Dan ?” jawab Serda Kadek.
“Cepat perintahkan URC untuk ke Bintaro,” suruh Kombes Munawar Ahmad, “Di sini terjadi tabrakan kereta api. Banyak korban, ratusan.”
“Siap, laksanakan, Dan.”
“Terima kasih.”
“Maaf, jadi meluncur ke Bandung, Dan ?” tanya Serda Kadek hati-hati.
“Terpaksa, Dek. Menyambut anak pertama. Dia mau lahir caesar.”
“Siap. Hati-hati, Dan.”
Selesai memberi perintah, Kombes Munawar Ahmad melangkah gontai menuju sepeda motornya. ***