Roman : Abdul Azizurrahman
Dua bilah pedang samurai panjang tertempel bersilangan di atas tembok ruangan kerja bercat putih bersih di Polsek Kota Matraman. Hawa magisnya terpancar menyelimuti tubuh tegap Kombes Munawar Ahmad yang tengah membaca koran sore sambil berdiri di bawahnya. Sementara Serda Kadek bawahannya tengah tekun mengetik surat di meja sebelah.
“Huh, sungguh sadis !” gumam Kombes Munawar marah, “Aparat kacangan. Mengintrogasi kok main siksa. Ya pantas saja anaknya meninggal. Kita polisi itu bertindak manusiawi saja. Tidak perlu main pukul-pukul atau siksa-siksa.”
Serda Kadek berhenti mengetik. “Siapa, Dan ?” tanyanya panasaran.
“Polisi di Korea Selatan. Mereka menyiksa mahasiswa bernama Park Jong-chul sampai tewas. Yaa rasakan akibatnya, rakyat Korea Selatan serentak bergerak memprotes. Akibatnya, Presiden Chun Doo-hwan tumbang dalam hitungan jam.”
“Oo ….” Serda Kadek manggut-manggut.
“Nih. Coba kamu baca.” Kombes Munawar Ahmad menyerahkan koran sore yang sudah dilipatnya, “Baca di halaman depan.”
Serda Kadek langsung mengambil koran sore itu dari tangan atasannya. Tangannya cepat membuka koran dan matanya bergerak-gerak cepat membaca. Tanpa sadar mulutnya menelan ludahnya yang kering. “Peristiwa Gwang Ju,” sebutnya.
Kombes Munawar Ahmad hendak duduk. “Apa ?” tanya cepat, kembali berdiri tegap, “Gwang Ju ?” desisnya. Dahinya berkerut, mengingat-ingat sesuatu, lalu manggut-manggut cepat.
“Judul artikel Koran ini, Dan.”
“Aku ingat, kalau tidak salah itu nama tempat terbuka di Korea Selatan. Luasnya hampir sama dengan Monas. Tempat orang-orang menyampaikan aspirasinya. Tapi sudahlah, semoga tidak terjadi di sini. Mari kita jadikan sebagai pelajaran saja. Bahwa kita aparat jangan cepat main kasar. Toh anak-anak muda itu tidak punya senjata. Mereka hanya teriak-teriak, hanya bermodalkan semangat dan nyali.”
“Ya juga sih, Dan.”
“Tugas kita melindungi dan mengayomi. Sebagai abdi negara, kita laksanakan tugas secara baik dan benar. Kita digaji dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Sudah sepatutnya kita melayani mereka. Jangan kita petantang-petenteng.”
“Tapi maaf ya, Dan. Itu mahasiswa sering kurang ajar sih sama kita. Main ejek-ejek sesukanya, bakar ini-itu, bicara macam-macam. Gemes dibuatnya.”
“Balas dong dengan ejekan.”
“Kita saling ejek gitu, Dan ?”
“Betul !” tegas Kombes Munawar Ahmad dengan mimik serius, “Terpenting jangan main kekerasan. Karena rusak demokrasi kalau pakai kekerasan. Bagiku, demokrasi itu dialog sesama dan sederajat dengan bahasa yang sama. Tidak boleh ada yang merasa lebih benar. Lalu, tugas polisi mengayomi semuanya.”
“Wah, hebat, Dan !”
Kombes Munawar Ahmad mendelik. “Apanya yang hebat ?” bentaknya ketus.
“Anu, aaa ….”
“Awas lo, jangan nyanjung-nyanjung cari muka !” ancam Kombes Munawar Ahmad menahan senyum.
Serda Kadek menggaruk-garuk rambut kepalanya. “Maaf, Dan, kalau sudah bikin tersinggung,” sungutnya penuh rasa bersalah, “Saya menyatakan yang sebenarnya. Kalau dinilai salah, ya terserah Dan saja sudah.” Meletakkan koran sore itu di atas meja Kombes Munawar Ahmad, lalu kembali menekuni ketikannya.
Melihat tingkah anak buahnya, Kombes Munawar Ahmad tersenyum puas. “Tidak apa-apa, kok. Hanya latihan mental saja,” ujarnya sambil mengedip-ngedipkan mata.
“Saya juga sudah tahu, Dan.”
“Lo, tapi kok ….?” Kombes Munawar Ahmad menunjuk wajah bawahannya yang tampak memelas minta dikasihani.
Mengetahui wajahnya ditunjuk, cepat Serda Kadek tersenyum. “Polisi juga manusia. Bisa main-main, hehehe,” ujarnya melucu.
Kombes Munawar Ahmad tertawa. Serda Kadek tertawa lebih keras. Mereka tertawa bersama. Untuk sesaat ruangan itu menjadi ramai. Sehabis tertawa, Kombes Munawar Ahmad memeriksa tumpukan berkas-berkas di hadapannya dan Serda Kadek kembali melanjutkan ketikannya.
10 menit berlalu.
Serda Kadek tersentak kaget, ingat sesuatu. Cepat dia mencari-cari sesuatu di tumpukan kertas di samping kanannya. “Yoh, mana tadi, ya ? Rasanya saya taruh di sini,” tanyanya sendiri, gusar. Melirik ke arah Kombes Munawar Ahmad yang tengah tekun membaca satu berkas yang sudah lusuh. Tak enak hatinya untuk mengganggu. Dia tahu, Komandannya itu kalau sudah menekuni berkas bisa berjam-jam tanpa mau diganggu. Bahkan pernah dulu Abdullah, petugas Dapur, menyajikan sampai dua kali kopi susu namun sama sekali tak disentuhnya. Hanya ketika mendengar suara azan sholat, Beliau akan langsung berdiri dan pergi jama’ah di Musholla Kantor. Dia yang Hindu kagum dibuatnya.
“Ada apa, Dek ?” tanya Kombes Munawar Ahmad tanpa mengangkat wajahnya dari kertas lusuh di tangannya.
“Maaf, Dan, anu …. tadi.”
“Ya ?”
“Tidak jadi.”
“Lo ?”
“Sebentar saya cari lagi. Pasti ketemu, wong tidak pernah kemana-mana kok,” katanya sambil membuka laci meja.
“Apa itu ?” suara Kombes Munawar Ahmad meninggi.
Serda Kadek melihat jerih pada Kombes Munawar Ahmad. “Maaf, Dan. Tadi menjelang magrib ada pesan untuk Komandan. Namun tidak sempat diberikan, karena Dan pergi ke Mushalla.”
“Ah, abaikan saja !” tegas Kombes Munawar Ahmad, “Ini jam kerja. Kalau itu urusan pribadi bisa ditunda. Kalau begitu, tolong panggilkan Sertu Hidayati,” suruhnya.
Tanpa tunggu waktu. Serda Kadek langsung tegap berdiri, “Siap laksanakan, Dan,” jawabnya tegas. Memberi hormat dan bergegas pergi keluar.
“Pesan ?” gumam Kombes Munawar Ahmad bernada panasaran, “Ah, Kadek, macam-macam saja !” Menggeleng-gelengkan kepala, lalu kembali menekuni kertas lusuh di tangannya.
Tidak berapa lama. Serda Kadek masuk diikuti Sertu Hidayati Sertu Hidayati.
Kombes Munawar Ahmad mengangkat wajah. “Duduk,” suruhnya pada Sertu Hidayati. Tanpa memperdulikan Serda Kadek yang langsung menuju meja kerjanya.
“Siap, Dan,” jawab Sertu Hidayati sopan.
“Santai saja.”
“Siap, Dan.”
Kombes Munawar Ahmad sejenak membaca kertas lusuh di tangannya. Mengatur nafas. Matanya melihat ke atas. Lalu melihat ke Sertu Hidayati, tajam. “Hanya mau tahu satu saja, mengapa kasus Sobrun ini tidak ada progresnya ?”
“Kasus Sobrun ?” gumam Sertu Hidayati pelan, mengingat-ingat.
“Ini, baca.” Kombes Munawar Ahmad menyodorkan kertas lusuh ke Sertu Hidayati.
Sertu Hidayati mengambilnya. Membacanya sebentar. “Oo, yang ini ….” Sedikit manggut-manggutkan kepala, “Anu ….”
“Kenapa ?”
Sertu Hidayati menunduk, melirik Serda Kadek yang sedang sibuk mengetik. “Sudah ditarik ke Polda Metro, Dan,” jawabnya lirih, “Kalau tidak salah, sekitar tiga tahun lalu.”
“Mengapa ?”
Sesaat ruangan hening. Serangkum angin lembut masuk dari arah pohon akasia. Tiga polisi itu diam dalam pikiran masing-masing. Hanya jam di dinding yang terus berdetak, seolah-olah tidak peduli atas ketegangan di bawahnya.
“Petrus,” jawab Sertu Hidayati pelan sambil ekor matanya kini melirik ke arah pintu, seperti takut di dengar orang luar.
“Kok bisa begitu ?” hentak Kombes Munawar Ahmad, “Kan jelas, itu kasus pembunuhan. Kita negara hukum, harus ada yang bertanggungjawab. Kita harus usut sampai tuntas. Kita perlu tunjukkan, tidak boleh membunuh seenaknya. Di sinilah kesalahan kita, sepertinya kita biarkan pembunuhnya berlalu begitu saja. Bila ini terus berlanjut, sama artinya kita menginjak-injak hukum.”
“Tubuh korban penuh tato.”
“Tato ?” bentak keras Kombes Munawar Ahmad.
“Siap. Betul, Dan.”
“Tato, katamu ! Apa hubungannya ? Ah, kamu ada-ada saja ! Apa karena tubuh seseorang penuh tato kamu langsung identikkan dengan penjahat, dan menjadi layak kamu hilangkan nyawanya.”
“Maaf, Dan. Bukan kita pelakunya.”
Kombes Munawar Ahmad mendelik. “Siapa ?” kejarnya.
“Maaf, Dan. Tidak tahu.”
“Nah, itu. Kita harus cari tahu !”
“Tapi, Dan ….?”
Kombes Munawar Ahmad cepat melambaikan tangannya di muka Sertu Hidayati. “Ah, sudahlah Hida !” katanya cepat, “Aku sudah tahu. Kalau sudah begini pimpinan di atas, kita bisa berbuat apa ? Sekarang kamu boleh ke tempatmu. Maaf, tadi sedikit kasar.”
“Tidak apa-apa, Dan.”
“Ya, sudah.”
Setelah memberi hormat, Sertu Hidayati pelan-pelan meninggalkan ruangan, dengan kepala tertunduk.
“Korek, Dek,” pinta Kombes Munawar Ahmad, sandarkan punggung di kursi dan selonjorkan kaki. Mengeluarkan bungkus rokok dari saku bajunya, lalu hembuskan nafas, “Lidahku hambar, jadi kepingin ngerokok.”
Tangan Serda Kadek bergerak cepat merogoh saku di baju dan celana. Ketika sampai di saku celana bagian belakang, tanpa sengaja tangannya meraih secarik kertas. Cepat-cepat dikeluarkannya. “Haa, ini dia !” pekiknya gembira, “Syukur, syukur, ketemu juga.”
“Apa itu ?” tanya Kombes Munawar Ahmad cepat.
“Pesan untuk Dan.”
“Dari siapa ?”
“Rumah sakit.”
Kombes Munawar Ahmad menepuk dahi. “Astagafirullah hal aziim, betul, Amy sedang bertaruh nyawa di Bandung !” sebutnya keras, “Mana, mana ? Cepat !”
Serda Kadek menyerahkan kertas di tangannya. “Maaf, telat, Dan.”
Kombes Munawar Ahmad tidak menjawab. Cepat disambarnya kertas itu. Lalu dibacanya serius. Dahinya berkerut. “Kamu payah. Tulisanmu jelek, Dek.”
Serda Kadek hanya nyengir.
Lima menit berlalu. “Ya sudah, aku balik dulu ke Bandung !” kata Kombes Munawar Ahmad datar, “Kamu stand by di Kantor. Bila nanti ada apa-apa, cepat kasih tahu, Dek.”
“Siap, Dan.”
Segera Kombes Munawar Ahmad mempersiapkan diri untuk pulang ke Bandung. Hanya tiga detik. Dia sudah siap berangkat. “Rasanya malam ini agak lain,” ujarnya sambil melangkah keluar.
***