Home > Opini > GENDANG BELEK, TRADISI CINTA DAN AKULTURASI BUDAYA

GENDANG BELEK, TRADISI CINTA DAN AKULTURASI BUDAYA

Penulis: NAHARUDDIN

Kepala SMAN 1 Sakra Timur

          Lombok adalah pulau yang berada di sebelah timur pulau Bali. Penduduk aslinya dikenal dengan Suku Sasak. Suku Sasak sangat lama berada di bawah hegemoni raja Bali yaitu Kerajaan Karang Asem. Selama kekuasaan Kolonial Belanda di Indonesia, Lombok tetap berada dibawah kekuasaan raja Bali. Rupanya indirect rule berlaku juga di Lombok. Setelah adanya perlawanan di Lombok Timur terhadap kekuasaan Bali di penghujung abad ke-19 barulah kekuasaan Belanda secara langsung menguasi Lombok.

          Akibat kekuasaan yang lama itu, maka kita dapat melihat dan mendapatkan pengaruh Bali di Lombok terutama di Lombok Barat dan Kodya Mataram, tepatnya di Cakranegara yang merupakan pusat kota zaman kekuasaan Karang Asem memiliki warna bangunan yang mewujudkan ciri sama dengan Bali. Ada pure ada sesajen setiap hari dan tradisi-tradisi Hindu Bali lainnya melekat dalam aktivitas masyarakat Hindu yang ada di Lombok.

          Pengaruh Bali tidak hanya nampak dalam bangunan tetapi dalam kultur suku Sasak yang lainnya. Salah satunya adalah penggunaan alat musik Bali pada masyarakat Sasak yang dikenal dengan “gendang belek”. Musik gendang belek adalah musik yang terdiri atas gamelan, cemprang yang terbuat dari besi kuning berbentuk pipih seperti piring, seruling dan gendang belek, serta gong.

Gendang belek adalah gendang berukuran besar  yang terbuat dari kayu dengan ditutupi kulit sapi atau kerbau pada kedua sisinya. Dalam satu kelompok bisa memiiliki 2, 4 sampai 6 gendang belek yang ditabuh secara bersamaan. Gendang Belek merupakan alat musik komando. Tetabuhan mengikuti komando yang di berikan oleh gendang belek. Alunan musik gendang belek adalah perpaduan suara seruling, cemprang, gendang belek, serta gong.

          Pada masyarakat Bali komposisi alat musik yang serupa dengan gendang belek pada masyarakat Sasak dipergunakan untuk kepentingan dan acara yang berhubungan dengan aktivitas religius. Atau dipergunakan dan dibunyikan di pura atau pada acara keagamaan di tempat yang dianggap suci seperti di laut dan gunung.

          Pada masyarakat Sasak alat musik tersebut mengalami perubahan fungsi. Masyarakat sasak yang Islam tidak menggunakan alat musik tersebut dalam hubungannya dengan kegiatan keagamaan seperti masyarakat Hindu Bali, tetapi dipergunakan untuk kegiatan dan acara adat yang berhubungan dengan daur hidup seperti dalam hal perkawinan dan kitanan.

          Pernikahan yang selalu diikuti dengan “ngiring penganten” sebagai tradisi asli Suku Sasak menempatkan gendang belek sebagai alat pengiring penganten. Tabuhan alat musik dan iringan orang mewarnai kegiatan ngiring penganten. Dalam masyarakat Sasak ngiring adalah rangkaian acara dalam pernikahan yang dilakukan dengan mengantar kedua penganten ke rumah pengantin perempuan, warga kampung orang tua anak-anak akan berjalan kaki dengan gembira mengantarkan kedua mempelai. Jalan raya penuh dan berdampak kemacetan dalam dunia saat ini.  

Itulah tradisi cinta sepanjang zaman suku sasak di Lombok. Dalam konteks agama Islam ngiring dapat dimaknai sebagai cara untuk memberitahukan orang tentang telah menikahnya seseorang yang kemudian tidak menjadi fitnah jika dikemudian hari nanti keduanya berjalan bersama.

Leave a Reply