Home > Ragam > BBM PERANGIIGAA

Celoteh: Abdul Azizurrahman

Siang itu, pasar desa ramai. Para pedagang sibuk mengurus dagangan. Dua penjual obat di sebelah selatan beradu keras menjajakan barangnya. Para pembeli berseliweran meneliti barang yang hendak dibeli. Amaq Nasib bersama istri berdiri mengawasi.

Sejak tadi amaq Nasib tak henti tersenyum. “Na, Tun, lihat, pasar tetap ramai. Harga BBM naik, iya silahkan saja naik, yang jelas rakyat tetap mampu membeli,” katanya, “Rakyat kita kuat kok. Buktinya, kita ini kan ! Masih bisa beli ini-itu, tinggal uangmu cukup atau tidak, kan ? Heh, kalian saja inaq-inaq yang kurang jujur menceritakan keadaan sebenarnya.”

Inaq Nasib mendelik. “Heran, kok ngeraos gitu sih ? Amaq coba lebih teliti, tuch kelihatannya saja ramai,” bantah inaq Nasib, “Tapi, gitě lebih jelas, para pembeli hanya keto-kete saja. Amaq, biar tahu saja, pasar ramai tidak bisa jadi ukuran. Masyarakat kita memang sukanya ramai-ramai, sekedar selemor angen. Sementara lihat, para pedagang hanya sibuk sendiri menyusun-nyusun dagangannya. Tidak ada pembeli yang mau dekat.”

“La, ngak gitu,” bantah amaq Nasib santai, “Mereka belum butuh saja. Nanti kalau udah, iya mereka beli.”

“Kalau butuh sih pasti beli. Masalahnya ndak punya uang.”

“Aah kamu saja yang ngeraos gitu.”

“Amaq,” kata inaq Nasib meninggi. Ditariknya tangan amaq Nasib dan menunjuk ke arah deretan pedagang beras. “Tuch, lihat, sepi kan ? Semua orang perlu makan, jadi pasti mencari beras, tetapi tidak ada yang belanja.”

“Kan ada tuch, dua orang.”

“Iya ada, tetapi tidak seramai sebelumnya,” kata inaq Nasib membela diri. “Amaq, jelasnya harga-harga terus naik. Makanya aku ajak amaq kemari, biar tahu secara pasti. Sehingga tidak cepat berburuk sangka pada ku setiap pulang dari pasar. Disamping itu aku khawatir nanti kita orang kecil ini tidak bisa beli barang-barang kebutuhan pokok lainnya.”

“Tidak mungkin ! Aku jelas dengar di tv, pemerintah menjamin harga-harga kebutuhan pokok tetap mampu dibeli oleh masyarakat. Tun, Tun pemerintah mana berani bohong sama kita. Mereka kan dalam posisi pelayan. Laa kan lucu, kalau pelayan membohongi orang yang dilayani.”

“Heei, Amaq. Jangan mimpi, ah ! Mau jadi pelayan atau apa, yang jelas mereka punya kekuasaan. Duh amaq, amaq ! Orang yang punya kekuasaan lebih besar kemungkinan melakukan apapun. Jika pun ada istilah pelayan, hanya basa basi semata.”

“Jangan mengada-ada, ah !” tolak amaq Nasib, “Nanti kita bisa dituduh menghina pemerentah.”

“Kenyataanya gitu. Lagi pula, pemerentah kan jauh di atas sana, mana sempat mendengarkan kita.”

Disaat keduanya tengah berdebat serius, dari arah belakang terdengar gerutuan berlogat Malaysia, “Awak apalagi ini, mau perang sama Malaysia. Gimana awak mau dapat makan nanti, mak cik.” Gerutuan itu berasal dari seorang laki-laki bercelana blue jean kumal pada temannya yang tengah jongkok menjajakan awis.

 Amaq Nasib menoleh. Melihat pada kedua laki-laki muda tersebut, lalu tersenyum. Sejenak kemudian dia menegur, “Hei Jalil, tidak ada itu perang-perang. Hanya urusan pemerentah di atas sana. Bagi kita juga tidak penting. Seketat apapun asal punya surat lengkap, kamu bebas saja pergi ke Malaysia sana. Kita di sini tengah ribut masalah kenaikan harga BBM kok, jangan mau dialihkan ke yang lain.”

“Maksud amaq, perhatian kita jangan cepat dibawa sana-sini,” sahut inaq Nasib menambahkan, “Masalah kita harga BBM naik. Kita tidak urus dengan Malaysia. Maksud saya, kita harus terus tuntut sama pemerentah untuk lebih peduli pada nasib rakyat kecil.”

Sesaat dahi Jalil berkerut lalu menoleh ke arah temannya. Bersamaan keduanya melihat pada amaq Nasib dan isterinya. Mereka tidak bereaksi lebih jauh, hanya melihat dan diam.

Inaq Nasib cepat mencubit lengan sang suami. “Amaq, side juga jangan mengalihkan perhatian pada yang lain. Biarkan saja mereka pada pendapatnya sendiri. Ayo cepat, mana uang belanjanya.”

“He-he-he, iya, iya,” sahut amaq Nasib. Tapi mendadak dia memukul kepala. “Waduh, amaq Harti tadi kemana ya ? Dia belum membayar gabahku. Jangan-jangan itu sudagar minta hutangan, jelas aku tidak kasih. Petani macam kita sekarang ini harus minta bayar kontan. Tun, mana dia iya, mana iya ?”

Inaq Nasib menunjuk ke kios obat-obatan pertanian. “Amaq, tuh orangnya, tampak lagi membeli sesuatu.”

Amaq Nasib bergegas mendatangi kios dimaksud. Saking bergegasnya tanpa sengaja kakinya menyenggol kotak penuh telur ayam ras milik seorang penjual perempuan. Braak ! Telur berhamburan pecah, dan sebagian kena injak kaki para pembeli yang tengah leto-lete.

“Robbi, Robbi, telurkuu..,” pekik si penjual, histeris. “Kamu harus bayar, satu telur seribu dua ratus rupiah ! Sekali lagi, seribu dua ratus rupiah, karena harga BBM naik.”

“Allah hu Akbar,” sebut kaget amaq Nasib, “Inaq, musibah, musibah, aku tidak sengaja, maaf, maaf.”

Si penjual telur berdiri. “Tidak bisa, kamu harus bayar !”

“Payah,” sungut amaq Nasib mengalah, “Iya, aku bayar, tapi uangnya di sana. Side tunggu sebentar.” Tanpa menunggu jawaban, amaq Nasib bergegas sambil berteriak, “Hei, amaq Harti,” tegurnya, “Cepat kemari.” 

Amaq Harti menoleh. Tersenyum. Lantas keluar kios menemui amaq Nasib. “Kebetulan,” sambutnya, “Begini, aduh, maaf iya, harga belum pasti. Soalnya tadi ini si Toke bilang, harga gabah terus turun. Jadi pembelian ditunda dulu. Mohon maaf iya amaq Nasib, besok atau lusa gabah yang sudah terlanjur saya bawa itu kita bicarakan lagi harganya. Kita sesama batur bisa saling mengatur harga kan ?”

“Lo, kok bisa.” 

“Begitulah.”

“Innalillahi wa innahilahirojiuun …,” sebut amaq Nasib, lemas.

Leave a Reply