Menengok tempo hari, khususnya diawal pemerintahan Bupati Ali B. Dachlan, pernah mencuat wacana penataan operasional Kendaraan Dinas. Waktu itu, Kendaraan Dinas tidak boleh dibawa pulang, serta tidak untuk kepentingan pribadi. Namun seiring waktu; penataan tinggal penataan, penggunaan untuk pribadi jalan terus.
Memang, perihal Kendaraan Dinas itu rumit. Banyak variabel terkait, antara lain: manajemen aktivitas kantor, peruntukan kendaraan, kepemilikan, BBM, kehausan mesin, rendahnya rasa memiliki, hingga kendaraan sebagai simbol status dan gengsi. Jadi, ada pelebaran makna yang dibawa oleh Kendaraan Dinas.
Bisa saja Bupati atau Kepala Dinas, berdasar otoritas yang dimiliki, bertindak keras melakukan penataan. Hanya saja, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, efektifitas penataan itu tak berumur panjang. Suwondo, MS, Dosen MIA Brawijaya Malang secara berkelakar berkomentar, “Itulah Indonesia..!” satu kelakar tersirat ejekan dan tahu diri.
Jika di negara maju, sebutlah Amerika Serikat dan Jepang, tidak ada cerita ribut-ribut kendaraan dinas. Di sana, kendaraan dinas bersifat fungsional, benar-benar untuk pelayanan publik. Tidak ada tata aturan njelimet, serta harus berflat merah segala. Tidak ada juga berkeliaran diluar jam kerja. Dan, jumlah mereka juga relatif sedikit dibandingkan yang ada di Indonesia.
Namun, itu lain ! Senada Suwondo, MS, kita hidup di Indonesia. Kendaraan Dinas adalah Kendaraan Dinas. Sebuah obyek yang memuat kebanggaan tersendiri. Menjadi simbol status dan gengsi bagi yang memegangnya. Maka, tengoklah Jalan Pahlawan atau Jalan Muh. Yamin Selong, pagi-sore-malam, penuh dengan gentayangan kendaraan dinas.
Memang, banyak birokrat di Indonesia tidak bisa membedakan status birokrat dan status pribadi yang lainnya. Sekali sang Birokrat, maka birokratlah dimana-mana. Dalam jam dinas atau diluar jam dinas. Pagi hari atau malam hari. Maka tidak heran, sang Birokrat telah punya mobil pribadi yang mewah namun tidak pas rasa dalam dirinya kalau tidak memegang kendaraan dinas. Persoalan disini bukan memudahkan menyelesaikan pekerjaan dinas, namun untuk menjadi simbolisasi status sang Birokrat. Sementara masyarakat sendiri juga memberi justifikasi; yaitu pemberian penghargaan sosial dari warna flat kendaraan yang parkir di halaman rumah. Kalau merah, wah hebat !
Berne (1988) mengecam figur yang tidak mampu memainkan status. Baginya, figur yang begitu itu mengalami kontaminasi kepribadian.Tapi, itulah Berne, lain lagi dengan para birokrat di Lombok Timur. Karena itu, ke depan, tidak usahlah lagi berpanjang wacana kendaraan dinas. Yakinlah, jika nanti mentalitas birokrat Indonesia sudah modern, dengan sendirinya kendaraan dinas akan fungsional (aziz).