Satu kalimat sarkastis: “Harga BBM naik, ongkos bemo naik, harga sembako naik, harga pakaian naik, yang turun hanya harga diri”. Entah kalimat tersebut benar atau tidak, saat ini fenomena anjloknya harga diri begitu kasat mata dan fantastis.
Soal ini, yaitu soal harga diri adalah klasik. Sejak manusia pertama ada, soal harga diri sudah mengharu-biru sejarah. Kita ingat tragedi Habil-Kabil, tanpa ampun darah saudara kandung tertumpah membasahi bumi. Jadi jelas, soal harga diri – walau dicuil persoalan kecil – bisa melahirkan tindakan besar. Jadi, harga diri menjadi pemacu energi bertindak. Dimana si manusia bertindak melindungi, mengayomi, bersaing, hingga saling menghancurkan. Sehingga banyak orang menyamakan harga diri sebagai harkat ketersinggungan.
Lantas, dimana harga diri ? Entahlah ! harga diri tak jelas ada dimana. Hanya saja yang pasti, harga diri itu ada. Bahasa Logika menyebutkan, harga diri itu eksis, ada tapi tak terlihat. Jika begitu, berpulang pada kemampuan masing-masing manusia untuk menetapkan kapasitas harga diri yang dimiliki. Karenanya, harga diri tidak bisa ditakar, tidak bisa dipikirkan, melainkan untuk dihayati.
Namun di atas semua itu, keberadaan harga diri penting untuk dikelola, karena ia mengendalikan tindakan manusia. Sungguh akan menghinakan sekiranya manusia mengabaikan harga diri. Sudah tentu manusia tersebut akan banyak menimbulkan kemudaratan atas manusia lain. Dan itu jelas jauh dari pancaran cahaya keIlahian.
Bagi penguasa, keberadaan harga diri amat penting untuk dipertimbangkan. Dalam arti, sekiranya mengambil suatu kebijakan, apapun bentuknya, jangan sampai menyinggung harga diri. Karena sudah jelas, kebijakan yang positif namun menyinggung harga diri maka kebijakan tersebut besar kemungkinan akan ditolak (aziz).